Menu

Dark Mode
Bonus Demografi Perlu Didukung Kesejahteraan Remaja, BPS Dorong Penguatan Kebijakan Terpadu Mentan Serap 15 Ton Cabai Petani Aceh lewat Hercules, Jaga Harga dan Pasokan Jelang Nataru Kementerian ATR/BPN Gandeng KPK Perbaiki Sistem Layanan Pertanahan Gubernur Khofifah Hadiri Haul Gus Dur di Tebuireng, Sebut Warisan Gus Dur Jadi Modal Sosial Bangsa Satu Dekade IPRAHUMAS: Konsolidasi Infrastruktur Komunikasi Pemerintah untuk Orkestrasi Narasi 2026 Prasetya Media Summit 2025 Tegaskan Pentingnya Kampanye Bersama Pentahelix dalam Menjaga Ketangguhan Ekosistem Media Jawa Timur

Sosial & Budaya

Pentingnya Menemukan Akar Masalah dalam Kampanye Pelindungan Anak Digital

badge-check


					Pentingnya Menemukan Akar Masalah dalam Kampanye Pelindungan Anak Digital Perbesar

Jakarta — Keberhasilan sebuah kampanye sosial, khususnya terkait pelindungan anak di ruang digital, sangat ditentukan oleh kemampuan merumuskan masalah yang tepat dan mendalam.

Hal tersebut disampaikan Yulita Alverina Wijaya, Co-founder sekaligus Chief Strategy Officer Think of View, saat menjadi pembicara dalam kegiatan TUNAS Bootcamp – Gerakan Kampanye #TungguAnakSiap di Jakarta, Rabu (17/12/2025).

Yulita menekankan bahwa ide yang kuat bukanlah ide yang paling ramai atau paling mudah dipikirkan banyak orang, melainkan ide yang mampu menyelesaikan masalah yang tepat (solving the right problem). Menurutnya, banyak kampanye berhenti pada persoalan yang tampak di permukaan, tanpa menggali akar persoalan yang sesungguhnya.

“Sering kali kita berhenti di problem yang kelihatan jelas, yang semua orang juga melihat hal yang sama. Padahal ide yang benar-benar berdampak lahir dari keberanian menggali akar masalahnya,” ujar Yulita.

Dalam paparannya, Yulita menjelaskan bahwa dokumen brief kampanye yang tebal dan penuh data tidak selalu mencerminkan persoalan utama. Informasi tersebut, menurutnya, kerap baru berupa gejala (symptoms), bukan akar masalah (root cause).

Ia mengilustrasikan hal tersebut melalui analogi sederhana tentang seseorang yang tampak murung. Tanpa memahami penyebab sebenarnya, solusi yang diambil bisa keliru, boros sumber daya, atau bahkan tidak efektif.

“Kalau kita salah membaca masalah, solusi yang kita tawarkan bisa mahal tapi tidak tepat sasaran. Padahal kalau tahu akar masalahnya, solusi bisa jauh lebih sederhana dan efektif,” jelasnya.

Yulita menegaskan bahwa prinsip ini relevan dalam merancang kampanye edukasi digital, termasuk kampanye perlindungan anak sebagaimana diamanatkan dalam PP Tunas. Berbagai persoalan di ruang digital—seperti ujaran kebencian, oversharing, hoaks, hingga kerentanan anak—tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan permukaan.

Dalam sesi interaktif, Yulita mengajak peserta membedah fenomena ujaran kebencian (hate comments) di media sosial. Ia menilai anggapan bahwa ruang digital bersifat anonim dan tanpa konsekuensi masih sebatas gejala, yang perlu digali lebih jauh penyebabnya.

“Bisa jadi akar masalahnya karena pelaku tidak melihat langsung dampak emosional dari kata-katanya, atau karena komentar provokatif justru mendapat perhatian lebih. Bahkan bisa jadi karena orang-orang yang tidak setuju memilih diam,” ungkapnya.

Pendekatan serupa juga diterapkan pada fenomena oversharing di kalangan anak muda. Menurut Yulita, kebiasaan membagikan masalah pribadi di media sosial sering kali berakar pada kebutuhan akan didengar, dicari dukungan emosional, atau persepsi bahwa keterbukaan adalah nilai yang dihargai di ruang digital.

“Ketika orang sedang emosional, tujuan utamanya adalah merasa lega, bukan berpikir jangka panjang. Di sinilah pentingnya empati dalam merancang pesan kampanye,” katanya.

Selain itu, Yulita menyoroti kelompok orang tua yang kerap menjadi sasaran hoaks. Ia menyebut bahwa niat berbagi informasi sering kali dilandasi kepedulian, bukan ketidaktahuan semata. Oleh karena itu, pendekatan kampanye tidak cukup hanya melarang, tetapi perlu mengoreksi motivasi dan membangun kebiasaan verifikasi.

Melalui TUNAS Bootcamp, Yulita mendorong peserta yang mayoritas mahasiswa dan generasi muda untuk berani mengeksplorasi sudut pandang yang berbeda, memvalidasi hipotesis dengan data, serta memahami dimensi psikologis dan sosial dari perilaku digital.

“Di titik inilah ide kalian bisa menonjol. Bukan karena paling ramai, tapi karena paling relevan dan manusiawi,” tegasnya.

Pesan tersebut sejalan dengan semangat kampanye #TungguAnakSiap dan implementasi PP TUNAS, yang menempatkan empati, pemahaman tumbuh kembang, serta pendekatan berbasis akar masalah sebagai fondasi perlindungan anak di ruang digital.

Baca Lainnya

Bonus Demografi Perlu Didukung Kesejahteraan Remaja, BPS Dorong Penguatan Kebijakan Terpadu

18 December 2025 - 13:33 WIB

Gubernur Khofifah Hadiri Haul Gus Dur di Tebuireng, Sebut Warisan Gus Dur Jadi Modal Sosial Bangsa

18 December 2025 - 10:39 WIB

Prasetya Media Summit 2025 Tegaskan Pentingnya Kampanye Bersama Pentahelix dalam Menjaga Ketangguhan Ekosistem Media Jawa Timur

18 December 2025 - 08:25 WIB

Berita Populer di Sosial & Budaya