Jakarta – Meski Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah berjalan lebih dari satu dekade, masih banyak masyarakat yang belum memahami bagaimana layanan kesehatan dibiayai melalui BPJS Kesehatan. Dua istilah yang sering muncul namun kerap disalahartikan adalah kapitasi dan Indonesia Case-Based Groups (INA-CBGs).
Padahal, keduanya merupakan komponen penting dalam skema pembiayaan JKN, dengan mekanisme dan sasaran layanan yang berbeda.
Apa Itu Kapitasi?
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah, menjelaskan bahwa kapitasi adalah sistem pembayaran rutin bulanan yang dibayarkan BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), seperti Puskesmas, klinik, atau praktik dokter mandiri, berdasarkan jumlah peserta JKN yang terdaftar, bukan berdasarkan jumlah kunjungan atau tindakan medis.
“Artinya, meskipun peserta tidak datang berobat, fasilitas tetap menerima pembayaran. Namun, FKTP tetap wajib memberikan layanan promotif, preventif, dan mengelola penyakit kronis seperti melalui Prolanis dan PRB,” ujar Rizzky, dikutip dari laman resmi BPJS Kesehatan, Senin (28/7/2025).
Ia juga meluruskan kesalahpahaman publik bahwa dokter hanya dibayar Rp2.000 per pasien. Faktanya, tarif kapitasi dibayarkan secara kolektif ke FKTP sesuai regulasi Permenkes Nomor 3 Tahun 2023, dan pembagian jasa medis dilakukan oleh manajemen fasilitas kesehatan.
Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK)
Saat ini, sistem kapitasi telah dikembangkan menjadi Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK), di mana FKTP dengan kinerja terbaik bisa memperoleh insentif tambahan hingga 110 persen dari tarif standar.
Kriteria penilaiannya meliputi: Tingkat keterlibatan aktif FKTP dalam menjangkau peserta sehat dan sakit, Kemampuan FKTP mengendalikan rujukan yang sebenarnya bisa ditangani di tingkat pertama, dan Keberhasilan dalam mengelola penyakit kronis seperti hipertensi dan diabetes melitus.
“FKTP yang aktif menjaga kesehatan masyarakat justru lebih diuntungkan. Ini adalah insentif berbasis kinerja promotif-preventif,” jelas Rizzky.
Mengenal INA-CBGs: Sistem Paket di Rumah Sakit
Berbeda dengan kapitasi, sistem INA-CBGs digunakan untuk membayar layanan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) seperti rumah sakit. Pembayaran dilakukan setelah layanan diberikan, berdasarkan diagnosis dan tindakan medis dalam bentuk paket.
Sistem INA-CBGs cocok untuk layanan lanjutan atau spesialistik. Tarifnya ditetapkan di awal dan tidak tergantung jumlah tindakan. Misalnya, pasien usus buntu ringan akan mendapat satu paket yang mencakup rawat inap, operasi, dan obat-obatan.
Sistem ini merupakan bentuk Prospective Payment System (PPS), seperti sistem borongan dalam pembangunan rumah, yang memastikan biaya lebih terkendali dan transparan.
Efisiensi Sistem, Perlindungan Peserta
INA-CBGs bukan hanya metode pembayaran, tetapi juga alat kontrol mutu layanan dan efisiensi biaya kesehatan.
Dijelaskan bahwa BPJS Kesehatan membayar ke rumah sakit, bukan ke individu dokter. Rumah sakit kemudian mengatur pembagian ke tenaga kesehatan. Dengan sistem ini, peserta JKN tidak perlu khawatir biaya tambahan yang tidak perlu.
Ke depan, sistem INA-CBGs akan terus disempurnakan melalui pendekatan Indonesia Diagnosis Related Groups (IDDR) yang saat ini masih dalam tahap kajian dan uji coba.
Dalam pelaksanaan sistem rujukan berjenjang, rumah sakit bukan tempat untuk semua keluhan. Berdasarkan Permenkes Nomor 16 Tahun 2024, pelayanan harus dimulai dari FKTP dan rujukan hanya dilakukan bila memang dibutuhkan secara medis.
Kalau semua dirujuk ke rumah sakit, biaya akan membengkak dan pelayanan bisa terganggu karena overload. FKTP adalah garda terdepan yang harus diperkuat.
Dengan pemahaman yang tepat, masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan JKN secara optimal, dan sistem pelayanan kesehatan nasional pun berjalan efisien, berkualitas, dan berkelanjutan. (Sumber: BPJS Kesehatan)