Jakarta — Pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 di Kabupaten Purwakarta menunjukkan wajah pendidikan Indonesia yang semakin inklusif, adaptif, dan kolaboratif.
Dalam kunjungan pengawasan langsung ke SMPN 1 dan SMAN 1 Purwakarta, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikdasmen, Hafidz Muksin, memastikan bahwa setiap anak, dari latar belakang mana pun, mendapatkan akses yang setara untuk masuk ke sekolah negeri favorit.
Kehadiran Hafidz sebagai perwakilan dari tim pengawas pusat bukan sekadar seremonial, melainkan upaya konkret untuk memastikan bahwa prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas benar-benar hadir dalam praktik penerimaan peserta didik baru.
“Kami ingin melihat langsung bagaimana sistem ini berjalan di lapangan. Kami tidak ingin ada satu pun anak Indonesia yang terpinggirkan hanya karena sistem yang tidak ramah atau karena minim informasi,” tegas Hafidz, dalam keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Senin (23/6/2025).
Kepala SMPN 1 Purwakarta, Patoni, mengungkapkan bahwa meskipun sempat terjadi kendala teknis pada sistem digital, pihak sekolah segera melakukan perbaikan tanpa mengganggu proses layanan. Bahkan, guru-guru seperti Cucu Suryani turun langsung membantu orang tua yang kesulitan dengan sistem daring.
“Banyak orang tua yang lebih nyaman datang langsung. Jadi kami buka layanan tatap muka untuk memastikan tidak ada satu pun yang tertinggal informasi,” jelas Cucu.
Pendekatan humanis semacam ini, menurut Hafidz, adalah bentuk adaptasi penting dalam konteks keberagaman literasi digital masyarakat. Sekolah harus tetap menjadi ruang ramah bagi semua, bukan hanya bagi yang terbiasa dengan teknologi.
Di SMAN 1 Purwakarta, pelaksanaan SPMB berjalan tertib dengan dukungan layanan khusus untuk pendaftaran langsung. Salah satu orang tua dari jalur mutasi menyatakan bahwa sistem SPMB sangat membantu transisi pendidikan anaknya yang baru saja pindah domisili.
“Jalurnya jelas, panitia komunikatif, dan tidak mempersulit. Saya merasa anak saya diterima bukan hanya sebagai angka di data, tapi sebagai bagian dari komunitas sekolah,” tuturnya saat berbincang dengan Hafidz.
Hafidz juga menyerap aspirasi dari guru yang mengusulkan penambahan kuota jalur mutasi bagi anak guru, terutama yang berasal dari jenjang selain SMA. Ia merespons aspirasi ini secara terbuka dan berjanji membawanya ke level kebijakan.
“Ini masukan penting. Guru berasal dari banyak jenjang, dan kami akan pertimbangkan ini secara proporsional di kementerian,” ujarnya.
Kehadiran tim pengawas pusat bukan hanya simbol pengawasan, tetapi juga komitmen untuk membangun sistem penerimaan yang adil sejak dari awal. Hafidz menekankan pentingnya kolaborasi sekolah, orang tua, dan pemerintah dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang inklusif dan terpercaya.
“Pendidikan bermutu harus bisa diakses semua anak, dari semua latar belakang. SPMB yang inklusif dan adil adalah pintu awal untuk mewujudkan itu, dan kami akan kawal hingga tuntas,” tegas Hafidz.
Dengan pelibatan aktif sekolah, responsif terhadap konteks lokal, dan keterbukaan terhadap aspirasi, pelaksanaan SPMB di Purwakarta tahun ini menjadi gambaran nyata dari transformasi sistem pendidikan Indonesia yang lebih berkeadilan.
Tidak hanya soal sistem daring atau jumlah kuota, intinya adalah siapa yang diuntungkan dan siapa yang dilayani. Dan di Purwakarta, jawaban itu tampak jelas: setiap anak yang ingin belajar dan berkembang.