Jakarta – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) terus mendorong transformasi Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagai pilar penting dalam menciptakan sistem pendidikan yang inklusif, adil, dan berkualitas. Salah satu langkah strategisnya adalah membekali calon guru dengan kompetensi mengajar di kelas yang beragam, termasuk bagi peserta didik berkebutuhan khusus.
Komitmen itu ditegaskan dalam Webinar Nasional “Mendorong Pendidikan Inklusif melalui Transformasi Pendidikan Guru” yang diselenggarakan Direktorat PPG Kemendikdasmen bersama mitra internasional KPGIA (Kemitraan Pendidikan Guru Indonesia-Australia), dan didukung oleh Program INOVASI.
“Pendidikan inklusif bukan hanya soal menerima keberagaman, tapi soal merancang sistem yang secara aktif mengakomodasi setiap anak,” ujar Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan, Nunuk Suryani, dalam keterangan tertulis yang diterima Selasa (5/8/2025).
Di tingkat LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan), materi tentang diferensiasi pembelajaran dan keberagaman murid kini diperkuat. Para mahasiswa PPG juga didampingi dosen dan guru pamong yang telah dilatih untuk membimbing mereka menghadapi konteks kelas yang heterogen.
“Kami ingin guru Indonesia bisa mendidik siapa pun murid yang datang ke kelas, tanpa memandang latar belakang atau keterbatasannya,” ungkap Ferry Maulana Putra, Direktur PPG Kemendikdasmen.
Nilai-nilai inklusi, lanjutnya, tidak hanya diajarkan sebagai teori, tapi diintegrasikan dalam seluruh proses: dari kuliah, praktik mengajar, hingga interaksi akademik.
Salah satu pembicara kunci, Prof. Danielle Tracey dari Western Sydney University, menekankan pentingnya calon guru memahami prinsip Universal Design for Learning (UDL). UDL mendorong guru untuk merancang pembelajaran dari awal dengan mempertimbangkan berbagai gaya belajar dan kebutuhan siswa, bukan menyesuaikan setelah kesulitan muncul.
“Pendidikan inklusif tidak cukup hanya dengan empati. Guru perlu keterampilan profesional untuk menganalisis kebutuhan siswa, memilih strategi, dan membangun kolaborasi,” katanya.
Prof. Tracey juga menyoroti pergeseran paradigma dari pendekatan medis ke pendekatan sosial dalam melihat disabilitas, dengan fokus pada kekuatan siswa, bukan kekurangannya.
Dr. Martadi dari UNESA menambahkan bahwa transformasi pendidikan guru hanya bisa terjadi bila didukung model triple helix: LPTK sebagai pelaksana akademik, pemerintah sebagai regulator, dan mitra internasional sebagai sumber inovasi.
Kolaborasi ini menurutnya bisa diwujudkan melalui: Webinar dan kuliah bersama, Program mobilitas mahasiswa dan dosen, Riset kolaboratif antar-LPTK, dan Studi banding ke sistem pendidikan inklusif di negara mitra.
“Kami ingin calon guru tidak hanya pintar, tapi berdaya secara sosial dan adaptif secara teknologi, karena mereka akan mendidik generasi masa depan yang lebih kompleks,” kata Martadi.
Webinar yang diikuti lebih dari 500 peserta dari berbagai LPTK ini bukan hanya diskusi teknis, tapi bagian dari desain besar penguatan guru sebagai aktor transformasi sosial. Dalam konteks pendidikan inklusif, guru tidak sekadar pengajar, tapi juga: Fasilitator pembelajaran yang personal, Motivator bagi anak-anak dari kelompok rentan, dan Konselor yang membangun lingkungan sekolah yang aman dan suportif
“Visi kami adalah Pendidikan Berkualitas untuk Semua. Dan itu hanya bisa terwujud jika gurunya siap mendidik semua anak, tanpa kecuali,” tutup Ferry Maulana.