Jakarta – Di tengah gegap gempita peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menegaskan kembali komitmennya terhadap pendidikan inklusif. Bukan lewat pidato atau slogan, melainkan melalui aksi nyata: Festival Kolaboratif Harmoni Bintang—ajang pameran dan pertunjukan karya dari siswa-siswa berbagai latar belakang dan kondisi pendidikan, baik formal maupun nonformal.
Festival ini bukan sekadar acara seremonial. Dalam rentang tiga hari (1–3 Agustus 2025), publik disuguhi bukti konkret bagaimana pendidikan bisa menjadi ruang yang setara dan memberdayakan semua anak, termasuk siswa berkebutuhan khusus, peserta didik dari SMK, PKBM, LKP, hingga TBM. Dengan subtema “Murid Berdaya, Indonesia Jaya”, festival ini menggambarkan bahwa kemerdekaan sejati bagi anak-anak Indonesia adalah ketika mereka dapat belajar, berkarya, dan tampil di ruang publik tanpa batasan stigma.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti, yang hadir dalam acara puncak, menyampaikan pesan tegas bahwa pendidikan harus menjadi instrumen penyetaraan, bukan seleksi.
“Kami berusaha agar setiap anak Indonesia, apapun kondisi fisik, ekonomi, dan geografisnya, mendapatkan hak yang sama untuk berkembang dan berkontribusi,” ujar Mu’ti, dalam keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Senin (4/8/2025).
Bukan hanya bicara, festival ini menampilkan murid-murid dari SLB yang memainkan alat musik, siswa SMK dengan karya busana dan multimedia, hingga penampilan flashmob yang melibatkan masyarakat umum. Salah satu penampilan yang menyentuh adalah pertunjukan musik angklung dari siswa-siswi tuna rungu SLB Negeri Cicendo Bandung. Tanpa bisa mendengar, mereka tetap bisa menggetarkan panggung.
“Ini bukan hanya ekspresi seni, ini adalah bukti bahwa pendidikan yang setara bisa membuka ruang makna dan kontribusi,” ungkap Menteri Mu’ti dengan nada haru.
Tidak hanya pertunjukan, festival ini juga menghadirkan pameran seni kriya dari berbagai Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP). Salah satunya adalah LKP Aura Kreatif Garut yang membawa seni decoupage bergaya Eropa yang dipadukan dengan bahan-bahan lokal seperti rumput mendong dan daun pandan.
Ketua LKP, Vera Susanti, berharap keterlibatan mereka di acara nasional ini membuka lebih banyak peluang bagi karya anak didik mereka menembus pasar luas, termasuk mancanegara. “Kami ingin membuktikan bahwa keterampilan lokal bisa mendunia, asal diberi panggung dan dukungan,” ujarnya optimis.
Festival Harmoni Bintang bukan hanya etalase karya murid, tetapi juga refleksi bahwa pendidikan inklusif bukan sekadar tanggung jawab moral, melainkan strategi pembangunan bangsa. Di tengah dunia yang makin kompleks, keberagaman dan kolaborasi menjadi kekuatan utama.
Dengan memberi panggung bagi setiap anak—dari desa hingga kota, dari ruang kelas umum hingga SLB—Kemendikdasmen mengirim pesan kuat bahwa tidak ada Indonesia Emas tanpa pendidikan yang inklusif, adil, dan memberdayakan.