Jakarta — Komisioner Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia (KIP RI), Syawaludin, menegaskan bahwa keterbukaan informasi bukan hanya jargon, tetapi merupakan fondasi penting dalam membangun budaya demokrasi yang sehat dan partisipatif di Indonesia.
Hal ini disampaikan Syawaludin dalam acara Talk Show dengan tekana “Budaya Transparansi dalam Era Teknologi Informasi untuk Pelayanan yang Partisipatif dan Berkelanjutan” di Gedung RRI Jakarta, Kamis (24/5/2025).
“Transparansi itu pintu masuknya demokrasi. Tak akan bisa kita menjadikan negara ini demokratis tanpa mengawali dengan transparansi,” tegas Syawaludin dalam pidatonya.
Ia mengingatkan bahwa hak masyarakat untuk mengakses informasi telah dijamin dalam konstitusi, tepatnya dalam Pasal 28F UUD 1945 serta diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
“Pertanyaannya sekarang: apakah transparansi yang kita sebut-sebut itu hanya sebatas slogan? Atau sudah menjadi budaya dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara?” tanyanya secara retoris.
Sejak berdiri pada 2010, Komisi Informasi terus mendorong sinergi dan inovasi untuk memastikan hak publik atas informasi dapat terpenuhi secara adil, inklusif, dan efisien. Syawaludin menekankan pentingnya membangun trust atau kepercayaan publik melalui keterbukaan informasi, apalagi di era digital saat ini.
“Di tengah kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), chatbot, dan media sosial, keterbukaan informasi justru semakin vital. Pejabat publik yang aktif menyampaikan informasi di media sosial misalnya, justru meningkatkan reputasi dan kepercayaan publik,” ungkapnya.
Menurutnya, kepercayaan merupakan nilai yang mahal dan harus diperjuangkan secara kolektif. “Tumbuhnya kepercayaan akan melahirkan partisipasi publik, dan partisipasi publik akan mengantarkan kita menuju Indonesia Emas 2045,” ujarnya
Sementara itu, praktisi keterbukaan informasi publik, Abdul Rahman Ma’mun, menyoroti tantangan besar yang dihadapi badan publik dalam menyajikan informasi secara transparan di tengah keberlimpahan informasi di era digital. Menurutnya, masyarakat kini terbiasa dengan arus informasi yang serba cepat, sementara informasi resmi dari pemerintah dan lembaga publik belum mampu menyesuaikan irama tersebut.
“Transparansi itu gampang-gampang susah. Kalau hanya diukur dari regulasi, tidak sulit. Tapi kalau ukurannya dari publik, itu yang jadi tantangan,” ujar Abdul Rahman.
Ia menekankan bahwa masyarakat saat ini sudah dimanjakan oleh keberlimpahan informasi dari berbagai media, termasuk media sosial, sehingga ekspektasi mereka terhadap keterbukaan informasi semakin tinggi. Di sisi lain, badan publik masih bekerja berdasarkan prosedur dan regulasi yang sering kali belum responsif terhadap dinamika digital.
“Cara publik mengakses informasi sudah berubah total. Dulu orang baca koran pagi, sekarang informasi datang setiap saat. Tapi kalau kita masih menyajikan informasi seperti era sebelumnya, kita akan tertinggal,” jelasnya.
Abdul Rahman juga menyoroti pentingnya adaptasi dari pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID) di lembaga publik. Menurutnya, informasi harus disajikan dengan ringkas, cepat, dan mudah diakses agar tidak kalah dengan informasi yang berseliweran secara informal.
“Kalau informasi resmi lambat, masyarakat akan mengonsumsi informasi tidak resmi, yang bisa jadi hoaks. Maka kecepatan merilis informasi resmi adalah kunci untuk menangkal hoaks,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa tantangan utama di era banjir informasi bukan hanya soal volume, tetapi juga bagaimana menjaga kepercayaan publik melalui informasi yang kredibel dan akurat.
“Kita tidak bisa hanya menyalahkan hoaks, kalau informasi resmi kita tidak dibuka dengan cepat. Tantangannya adalah bagaimana badan publik bisa hadir di tengah keberlimpahan informasi ini,” pungkasnya.