Menu

Dark Mode
Riset Ungkap Faktor Stunting tak Seragam Antar-Provinsi Kemkomdigi Siapkan 255 Posko Siaga dan Monitoring Spektrum Jaga Konektivitas selama Nataru Menteri PANRB: IPIMTI Jadi Ruang Belajar dan Penguatan Kepemimpinan Perempuan Gubernur Khofifah Dukung Operasi Lilin Semeru 2025 untuk Wujudkan Nataru Aman, Lancar dan Kondusif di Jatim Gubernur Khofifah Tegaskan Bela Negara Tak Sekadar Angkat Senjata, tetapi Disiplin dan Integritas Warga Gubernur Khofifah Optimis Kunjungan Menteri Besar Negeri Sembilan Perkuat Kerja Sama Ekonomi dan UMKM Halal

Sosial & Budaya

Riset Ungkap Faktor Stunting tak Seragam Antar-Provinsi

badge-check


					Riset Ungkap Faktor Stunting tak Seragam Antar-Provinsi Perbesar

Jakarta – Pemerintah terus mendorong transformasi kebijakan kesehatan berbasis data melalui pemanfaatan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 sebagai landasan utama perumusan kebijakan nasional.

 

Hal tersebut mengemuka dalam acara Evidence-Based Nutrition Policy Conference: Insight from National Nutrition Survey 2024 yang digelar secara daring dan luring di Jakarta, Jumat (19/12/2025). Kegiatan ini menegaskan posisi data SSGI sebagai standar emas evaluasi nasional dalam menjawab tantangan permasalahan gizi di Indonesia.

 

Forum tersebut menekankan bahwa data SSGI tidak hanya berfungsi sebagai alat ukur prevalensi, tetapi juga sebagai instrumen strategis untuk mendorong pengambilan keputusan yang objektif, terukur, dan berbasis bukti ilmiah. Dengan kualitas data yang akurat dan kredibel, kebijakan intervensi gizi diharapkan dapat dirancang lebih tepat sasaran, adaptif terhadap konteks daerah, serta berkelanjutan.

 

Sebagai bagian dari penguatan kebijakan berbasis data, Kementerian Kesehatan menginisiasi kompetisi penulisan rekomendasi kebijakan berbasis data SSGI 2024. Inisiatif ini bertujuan mendorong akademisi, praktisi, dan pemangku kepentingan untuk mengoptimalkan pemanfaatan data nasional dalam melahirkan gagasan kebijakan yang solutif dan inovatif demi percepatan perbaikan status gizi masyarakat.

 

Salah satu paparan riset yang menjadi sorotan adalah analisis data SSGI 2024 yang mengungkap bahwa faktor risiko stunting pada balita berbeda antarprovinsi, dengan kondisi kesehatan ibu selama masa kehamilan sebagai faktor kunci. Temuan ini menegaskan bahwa strategi percepatan penurunan stunting tidak dapat diterapkan secara seragam, melainkan harus disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan lokal masing-masing wilayah.

 

Riset tersebut dipaparkan oleh Gita Nirmala Sari dari Poltekkes Kemenkes Jakarta III, bersama tim kolaborator. Analisis difokuskan pada lima provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi berdasarkan SSGI 2024, yakni Aceh, Banten, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat.

 

Hasil analisis menunjukkan bahwa prevalensi stunting di sejumlah provinsi tersebut masih berada di atas angka nasional dan berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang, tidak hanya terhadap pertumbuhan fisik dan kemampuan kognitif anak, tetapi juga terhadap produktivitas sumber daya manusia di masa depan.

 

Penelitian ini kembali menegaskan bahwa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) merupakan periode krusial dalam pencegahan stunting, dengan kondisi kesehatan ibu selama kehamilan sebagai determinan utama. Oleh karena itu, riset difokuskan pada berbagai faktor kesehatan maternal yang berpengaruh terhadap kejadian stunting pada balita usia 0–59 bulan.

 

Faktor Dominan Berbeda di Setiap Provinsi

 

Berdasarkan analisis multivariat menggunakan regresi logistik, ditemukan variasi faktor dominan stunting di masing-masing wilayah. Di Aceh, faktor dominan adalah Kekurangan Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil, di Banten, jarak kehamilan lebih dari dua tahun terbukti menjadi faktor protektif terhadap kejadian stunting, di Nusa Tenggara Timur (NTT), KEK menjadi satu-satunya faktor yang berhubungan signifikan dengan stunting. Sementara di Kalimantan Barat, anemia pada ibu hamil dan keikutsertaan dalam kelas ibu hamil menjadi faktor kunci.

 

Adapun di Sulawesi Barat, preeklamsia menjadi faktor dominan dengan nilai Adjusted Odds Ratio (AOR) sebesar 2,86, sementara kepemilikan Buku KIA dan konsumsi Multiple Micronutrient Supplement (MMS) bersifat protektif.

 

“Temuan ini menunjukkan bahwa komplikasi kehamilan, status gizi ibu, serta kualitas layanan kesehatan maternal memiliki kontribusi besar terhadap risiko berat badan lahir rendah dan kejadian stunting di kemudian hari,” ungkapnya.

 

Berdasarkan hasil riset tersebut, para peneliti merekomendasikan penguatan intervensi yang spesifik sesuai faktor dominan di masing-masing daerah. Provinsi dengan dominasi masalah gizi maternal memerlukan penguatan skrining gizi dan suplementasi bagi ibu hamil, sementara wilayah dengan faktor reproduktif perlu memperkuat layanan prakonseps (iperiode persiapan kesehatan sebelum kehamilan), serta pengaturan jarak kehamilan.

 

Adapun daerah dengan risiko komplikasi kehamilan yang tinggi membutuhkan peningkatan deteksi dini dan tata laksana kehamilan berisiko. Pendekatan berbasis konteks lokal ini dinilai mampu menjadi dasar ilmiah bagi pemerintah pusat dan daerah dalam merancang strategi percepatan penurunan stunting yang lebih efektif, tepat sasaran, dan berkelanjutan.

 

Melalui forum ini, transformasi sistem kesehatan nasional diarahkan untuk menjadikan data sebagai fondasi utama kebijakan publik, sehingga setiap keputusan benar-benar berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat dan terwujudnya Indonesia yang lebih sehat, tangguh, dan berdaya saing di masa depan.

Baca Lainnya

Kemkomdigi Siapkan 255 Posko Siaga dan Monitoring Spektrum Jaga Konektivitas selama Nataru

19 December 2025 - 21:21 WIB

Menteri PANRB: IPIMTI Jadi Ruang Belajar dan Penguatan Kepemimpinan Perempuan

19 December 2025 - 21:16 WIB

Gubernur Khofifah Dukung Operasi Lilin Semeru 2025 untuk Wujudkan Nataru Aman, Lancar dan Kondusif di Jatim

19 December 2025 - 13:08 WIB

Berita Populer di Sosial & Budaya